KOMPAS.com – Dampak penggunaan pupuk anorganik yang menjadikan kesuburan tanah terganggu mulai dirasakan banyak petani. Masalahnya, saat ini banyak petani yang sudah ketergantungan pupuk anorganik.
Melalui sensus Pertanian Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2013, petani yang menggunakan pupuk anorganik mencapai 86,41 persen. Sementara, penggunaan pupuk berimbang (organik dan anorganik) hanya 13,5 persen dan organik 0,07 persen.
Hal itu menunjukkan bahwa petani di Indonesia lebih tertarik menggunakan pupuk anorganik. Padahal di balik itu, ancaman terhadap pertanian Indonesia di depan mata.
Untuk ‘menyehatkan’ kembali lahan pertanian, satu-satunya cara adalah mendorong petani untuk memakai pupuk organik.
Guna mengatur pupuk organik, Kementerian Pertanian sudah megeluarkan Peraturan Menteria Pertanian (Permentan) No. 70 Tahun 2011 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah.
Upaya pemerintah mendorong penggunaan pupuk organik juga telah memacu tumbuhnya usaha pupuk organik. Sayangnya, di lapangan malah banyak produk pupuk organic yang tidak sesuai standar. Kemudian akhirnya banyak keluhan terhadap kualitas yang beredar di pasaran.
Direktur Pupuk dan Pestisida Kementerian pertanian Muhrizal Sarwani mengakui, selama ini terdapat beberapa kendala dalam pengembangan pupuk organik, baik di tingkat produsen maupun pengguna.
“Misalnya, mutunya masih kurang baik, bahan bakunya juga terbatas, kualitas yang dihasilkan tidak konsisten, banyak mengandung logam berat (terutama yang dari kota). Bahkan dosis penggunaannya yang relatif tinggi, sehingga sulit dalam transportasinya,” ujarnya seperti dalam rilis yang diterima Kompas.com, Rabu (13/3/2019).
Karenanya, untuk melindungi konsumen terhadap kualitas pupuk organik, pemerintah merevisi Permentan No. 70 Tahun 2011 dengan dikeluarkannya Permentan No. 01 Tahun 2019 tentang Pendaftaran Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah.
Dengan beleid tersebut, kualitas pupuk organik diharapkan terjamin kualitasnya.
Muhrizal mengatakan, tujuan diaturnya standar pupuk organik, hayati dan pembenah tanah tersebut untuk melindungi masyarakat dan lingkungan hidup.
Dia juga berharap dengan begitu ada peningkatan efektivitas penggunaan pupuk organik dan memberikan kepastian usaha juga kepastian formula pupuk yang beredar.
“Dengan demikian, pupuk (organik, hayati dan pembenah tanah) yang ada dipasaran terjamin mutu dan kualitasnya yang hasil akhirnya adalah meningkatkan produktivitas,” kata Muhrizal.
Untuk melengkapi Permentan No. 01 Tahun 2019, pemerintah saat ini menggodok Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) mengenai standarisasi proses pembuatannya agar pupuk yang dihasilkan bermutu dan berkualitas.
Sebenarnya standarisasi pupuk organik, hayati dan pembenah tanah sudah tercantum pada tiga peraturan, yakni Permentan No. 01 Tahun 2019, Kepmentan mengenai Persyaratan Teknis, dan Kepmentan mengenai Penunjukan Lembaga Uji Mutu dan Efektivitas.
“agar sesuai (pas), sekarang kami sedang menggodok Kepmentan mengenai standarisasi pembuatannya,” kata Muhrizal.
Nah, untuk mendorong petani menggunakan pupuk organik, pemerintah sejak tahun 2017 memberikan bantuan pada petani berupa Unit Pengolahan Pupuk Organik (UPPO).
“Bantuan UPPO sudah berlangsung sejak 2017 sebanyak 1.500 unit. Sedangkan 2018, alokasinya menjadi 1.000 unit dengan realisasi 987 unit. Adapun tahun 2019 sebanyak 500 unit,” ujar Direktur Perbenihan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian M Takdir Mulyana.
Dalam paket bantuan UPPO tersebut, pemerintah memberikan fasilitas berupa rumah kompos, alat pengolahan pupuk organik, ternak dan obat-obatan, kandang komunal dan bak fermentasi, serta pakan ternak dan kendaraan roda tiga.
“Penggunaan pupuk organik menjadi kewajiban karena mampu meningkatan Indeks Pertanaman (IP). Dengan pupuk organik, berarti memperbaiki unsur hara yang ada dalam tanah,” katanya.
Disambung oleh Direktur Teknik dan Pengembangan PT Petrokimia Gresik Arif Fauzan, pada dasarnya persoalannya bukan hanya masalah kesuburan tanah, melainkan penggunaan pupuk anorganik terutama N (Nitrogen) yang berlebihan juga menyebabkan perubahan iklim.
Ia mengungkapkan bahwa N yang diserap tanah hanya 50 persen, sisanya menguap ke udara.
Arif menjelaskan, penggunaan pupuk anorganik yang berlebih tentu mempengaruhi kesuburan fisik, kesuburan biologi, dan kesuburan kimia.
Padahal, idealnya kadar bahan organik di dalam tanah harus lebih dari 5 persen, populasi mikroba di dalamnya lebih dari 105 cfu/g bk, serta tersedianya unsur hara makro dan mikro. Dengan demikian kesuburan ideal akan didapatkan.
“Sudah terbukti bahwa penggunaan pupuk anorganik terus-menerus dan berlebihan dapat mengurangi kesuburan tanah karena C-Organik di dalam tanah (menjadi) rendah,” katanya.
Dia juga menilai, penggunaan pupuk anorganik hanya bermanfaat jangka pendek. Apalagi bahan baku pupuk tersebut berasal dari sumberdaya yang tidak dapat diperbarui.
“Karena itu pengembangan pupuk organik sangat mendesak baik dalam jangka pendek, menengah, dan panjang,” katanya.