KOMPAS.com - Direktur Pupuk dan Pestisida, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan), Muhrizal Sarwani mengatakan setiap orang yang menggunakan pestisida terbatas wajib memiliki sertifikat penggunaan pestisida terbatas.
Alasannya, pestisida punya risiko terhadap keselamatan manusia dan lingkungan sehingga penggunaanya tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang dan keamanannya harus terbukti melalui sertifikat itu.
"Sertifikat diberikan pada orang yang sudah lulus pelatihan. Pelatihan dilakukan oleh pemegang nomor pendaftaran sesuai petunjuk teknis dan berkoordinasi dengan Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida Provinsi," ujar Muhrizal pada Jumat (22/2/19) dari keterangan riais Kementan.
Kementan memahami peran pestisida dalam upaya penyelamatan produksi pertanian dari gangguan hama penyakit tanaman masih sangat besar.
Untuk itu, melalui Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan kerap mengatur perizinan, peredaran, dan pemanfaatan pestisida agar dapat digunakan secara bijaksana.
Salah satu pestisida terbatas yang sudah ditetapkan yakni Paraquat diklorida. Dari Conference of The Parties (COP) Basel, Rotterdam, Stockholm Convention 2017 di Jenewa, ada usulan untuk memasukkan EC-5SL Paraquat diklorida dalam listing annex III.
Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) hanya memasukkan parakuat kelas II moderately hazardous, sehingga Convention BRS harus mengumpulkan data lebih lanjut, dan masih diperlukan kajian sosial ekonomi ecotoxologi dan lingkungan masuknya formulasi paraquat dalam annex III.
Di Indonesia, penggunaan pestisida sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 39 tahun 2015.
Pemerintah Indonesia melihat kalau formulasi paraquat masih banyak digunakan karena alternatif lain yang hemat biaya belum tersedia. Khawatirnya, ada protes implikasi pada perdagangan produk mengandung paraquat di masa depan.
"Indonesia menolak karena bahan aktif ini masih banyak diproduksi dan dipakai masyarakat luas. Sehingga (takutnya) akan berdampak negatif terhadap kesejahteraan petani dan upaya pemerintah Indonesia mencapai ketahanan pangan," ujar Muhrizal.
Karena itu, penelitian pengaruh aplikasi pestisida berbahan aktif paraquat diklorida sudah dilakukan terhadap keamanan hayati, tanah, dan lingkungan.
Penelitian pada budidaya jagung oleh Institut Teknologi Bandung (ITB), budidaya padi oleh Universitas Gajah Mada (UGM), dan budidaya kelapa sawit oleh Institut Pertanian Bogor (IPB). Sementara, pengaruh pada tanah, air dan tanaman oleh Balai Penelitian Lingkungan, Balai Besar Sumber Daya Lahan, Balitbang Kementan.
"Sebagai komitmen pemerintah Indonesia, dengan anggaran Rp 2 miliar Kementan telah melakukan kajian dampak penggunaan paraquat diklorida terhadap kesehatan dan lingkungan di Indonesia. Hal itu dilakukan di 9 provinsi, yakni Jatim, Jateng, Jabar, Kalsel, Lampung, Sumut, Riau, Sulsel, dan Sulbar," sebut Muhrizal.
Hasil kajian
Hasil kajian menunjukkan, aplikasi penggunaan paraquat diklorida pada budidaya jagung, padi, dan kelapa sawit tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap sifat fisika dan kimia tanah, jumlah spesies, indek dominansi dan keanekaragaman spesies arthopoda tanah, komunitas fungi, dan bakteri tanah.
Kemudian, hasil penelitian analisis residu juga menunjukkan hasilnya aman digunakan.
"Kajian ini akan disampaikan pada Kementerian lain anggota Komisi Pestisida. Kemudian akan dibuat jurnal penelitian supaya bisa diakses semua yang berkepentingan. Kementan juga sudah menyampaikan pada Kemenlu hasil pengkajian tersebut untuk dipersiapkan dalam COP Rotterdam," ujar Muhrizal.
Selain itu, perusahaan pestisida yang belum bergabung dalam asosiasi diminta bergabung dengan asosiasi yang sudah ada atau membentuk asosiasi sendiri.
"Pemerintah hanya akan berkomunikasi dengan asosiasi, bukan dengan masing-masing perusahaan," pungkasnya.