KOMPAS.com - Kepala Sub Direktorat Jagung dan Serealia Kementerian Pertanian ( Kementan), Andi Saleh menilai hasil penelitian Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) yang menyatakan produktivitas jagung Indonesia hanya 2,81 ton per hektar sangatlah subjektif.
"Bagi saya, pernyataan CIPS merendahkan dan menyepelekan kemampuan petani kita," kat Andi dalam siaran tertulisnya yang diterima Kompas.com, Minggu (17/2/2019)
Padahal, ia melanjutkan, produktivitas jagung di sejumlah daerah di Indonesia terus meningkat, bahkan mencapai 7 ton lebih per hektar.
Produksi jagung meningkat tajam setelah adanya Upaya Khusus (Upsus) yang digalakkan Kementan.
Baca juga: Kementan Dorong Ekspor Jagung dari Sulawesi Tengah
Ia mencontohkan, produksi jagung pada 2014, dari 19 juta ton terus meningkat tajam hampir dua kali lipat menjadi 30 juta ton.
Menurut dia, peningkatan itu karena teknologi budidaya jagung sudah dikuasai oleh para petani Indonesia.
Andi menambahkan, peningkatan tersebut juga didukung dengan berbagai program lain, seperti bantuan benih yang didorong oleh produsen dari dalam maupun luar negeri.
"Para produsen benih ini berkepentingan mengembangkan pasar jagung, sehingga mereka menyebarkan tenaga penyuluh lapangannya atau biasa disebut agronomis memberikan pendampingan teknis kepada petani jagung," kata dia.
Produksi jagung nasional
Kekeliruan CIPS pun diperkuat Andi berdasarkan data Food Agriculture Organization (FAO), rata-rata produktivitas jagung Indonesia mencapai 5,2 ton per hektar pada 2017. Capaian itu lebih unggul dibanding Thailand yang hanya 4,5 ton per hektar.
"Angka itu konkret menunjukan bahwa jagung kita jauh lebih unggul dibandingkan Thailand. Jadi data yang diambil CIPS mengacu pada apa?" kata Andi.
Ia pun menyarankan agar Assyifa Szami Ilham dan rekan CIPS lainnya membuka lagi data FAO.
Pernyataan CIPS disayangkan Andi. Menurut dia, lembaga penelitian itu bisa lebih jujur dalam menampilkan data dan menyampaikan fakta.
Baca juga: Ini Rekomendasi dari CIPS soal Program Distribusi Benih Jagung Hibrida
Andi menduga kesimpulan Assyifa Szami sangat berdasarkan penelitian CIPS pada 2018 lalu yang didanai oleh pihak tertentu. Dengan begitu, hasil penelitian menguntungkan pihak tertentu atau sponsor.
Ia menjelaskan, ada 2018 yang lalu CIPS menerima dana sponsorship penelitian dari Pemerintah Australia melalui Departemen Luar Negeri dan Perdagangan dengan judul Penguatan Kebijakan Ketahanan Pangan.
"Sayangnya, CIPS sama sekali tidak melibatkan kami atau meminta data kami pada penelitian tersebut, sehingga tidak mendapat fakta yang sebenarnya. Ya pastilah hasil penelitiannya bias kepentingan," ungkap Andi.
Ia pun membuka ruang dialog kepada peneliti CIPS untuk turun secara langsung ke lapangan dan mengevaluasi program pengembangan jagung nasional yang dilaksanakan dalam kerangka Upsus Pajale.
"Kami undang CIPS turun ke lapangan, lihat fakta, baru bicara. Upsus pajale diarahakan pada daerah-daerah baru karena menggunakan Pendekatan Pengembangan Areal Tanam Baru (PATB). Pangsa pasar konvensional juga tidak akan terganggu karena produsen sangat diuntungkan dengan perluasan pasar," ujar dia.