KOMPAS.com – Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menilai data produksi beras tahun 2018 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) masih parsial karena tidak memasukkan data dari tahun-tahun sebelumnya.
“BPS cuma rilis data beras tahun 2018 bahwa kita surplus 2,85 juta ton. Tapi dari tahun-tahun sebelumnya, mereka tidak pernah rilis data yang menggunakan metode KSA (kerangka sampel area," ungkap Winarto di Jakarta dalam keterangan tertulis yang Kompas.com terima Rabu (31/10).
Padahal, lanjut dia, data beras tahun 2018 itu tidak bisa berdiri sendiri. Harus ada data pendukung dari tahun sebelumnya untuk memastikan kondisi stok beras saat ini.
Winarno menyebutkan karena pada tahun sebelumnya BPS tidak merilis data beras, maka pihaknya merujuk kepada data survei yang dilakukan Succofindo.
Baca juga: Beras Surplus 2,85 Juta Ton, Kepala BPS Sebut Masih Perlu Hati-hati
Pada Juni 2017, Succofindo merilis bahwa sebanyak 15 juta kepala keluarga petani memiliki stok beras sebanyak 5,6 juta ton. Dengan ditambah stok yang ada di masyarakat, maka total ada 8,1 juta ton.
“Jika kami menggunakan data hasil survei Succofindo untuk ditambahkan ke produksi surplus 2,85 juta, maka total kita memiliki sekitar 9,1 juta ton beras. Sebetulnya data ini tidak berbeda jauh dengan data yang dirilis BPS bersama Kementerian Pertanian ( Kementan) sebelumnya,” ungkap Winarno.
Lebih lanjut, Winarno memastikan pihaknya tidak akan memperdebatkan data BPS. Tapi jika data yang dirilis BPS tidak komprehensif, dirinya mengkhawatirkan data BPS bisa menciderai petani.
“Oke lah kami menerima semuanya. BPS memang dilindungi undang-undang. Tapi petani saat ini posisinya diinjak dan dicekik,” tandasnya.
Menurut Winarno Badan Urusan Logistik (Bulog), kesulitan menyerap gabah karena pemerintah masih menggunakan harga pembelian pemerintah (HPP) yang diatur oleh Inpres Nomor 5 Tahun 2015.
Baca juga: Bulog Jelaskan Alasan Belum Maksimal Serap Gabah Petani
Meskipun Kementerian Pertanian sudah memberikan fleksibilitas 10 persen, Winarno menilai itu belum cukup untuk menutupi biaya produksi petani.
“Bulog menggunakan instrumen itu untuk menyerap gabah, ya akhirnya kesulitan untuk dapat barang. Akhirnya harga jadi mahal dan barang tidak ada di gudang Bulog. Lalu pemerintah menyebutkan harus impor. Padahal barang itu sebetulnya ada,” keluh Winarno.
Untuk itu, Winarno mengharapkan BPS lebih bijak dalam merilis data. Sebab, jika data yang dirilis BPS dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk mendorong terjadinya impor beras, maka petani akan sangat terluka.
“Kalau dilakukan impor lagi, petani bisa marah. Petani saat ini tercekik. Mari kita jangan buat marah petani,” tegas Winarno.