KOMPAS.com - Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) menilai kinerja pangan di era pemerintahan Jokowi mengalami banyak kemajuan.
Kemajuan itu salah satunya bisa dilihat dari hasil kajian yang dirilis tiap tahun oleh The Economist Inteligence Unit (EIU).
Dalam kajian itu, Global Food Security Indexm (GFS) atau Peringkat Ketahanan Pangan Indonesia terus membaik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Dari 113 negara yang dikaji, pada tahun 2017 Indonesia menempati rangking ke 69 dengan skor 51,3 dan naik 0,2 poin dibanding pada tahun 2016 yang menempati posisi 71 dengan skor 51,1,” kata Anggota Bidang Maritim dan Agraria Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PBHMI) Pri Menix Dey dalam pernyataan tertulis, Senin (2/7/2018).
Penyederhanaan regulasi
Pada era Jokowi-JK, setidaknya sudah dicabut 210 regulasi pertanian yang menghambat.
Pengadaan pola tender pun diubah menjadi penunjukan langsung sehingga penyediaan sarana produksi menjadi cepat dan lancar.
Rehabilisasi infrastruktur air irigasi 3,5 juta hektar, cetak sawah dan optimasi lahan lebih 1,0 juta hektar, mekanisasi besar-besaran lebih dari 300.000 unit, teknologi benih berkembang pesat, asuransi pertanian 1 juta hektar per tahun, dan program strategis lainnya.
“Hasilnya sangat nyata, dulu petani sering keluhkan benih, pupuk, air dan lainnya, sekarang relatif berkurang bahkan tidak ada keluhan,” ujarnya.
Harga pangan stabil
Ketiga, menjelang dan selama hari raya Idul Fitri, Idul Adha, Natal, maupun Tahun Baru, harga pangan relatif stabil. Selan itu, pasokan bahan pangan cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
“Kini Inflasi terjaga, petani untung dan konsumen tersenyum,” ujarnya.
Tak cuma itu, secara kuantitatif, kinerja pertanian dapat dilihat dari nilai produksi 2017 Rp 1,344 triliun atau naik Rp 350 triliun dari 2012.
Kini, pada 2018, jumlah penduduk 265 juta jiwa atau bertambah 12,8 juta jiwa dari 2014. Pertambahan jumlah penduduk tentu membutuhkan tambahan 1,7 juta ton beras.
"Terbukti kebutuhan itu dapat dipenuhi dari produksi sendiri," katanya.
Ekspor pertanian meningkat
Sebelumnya, Indonesia masih mengimpor jagung pakan ternak sebanyak 3,5 juta ton. Namun, pada 2017 Indonesia sudah tidak impor dan bahkan pada 2018 sudah ekspor jagung.
"Begitu pun dulu selalu impor bawang merah, sejak 2016 sudah tidak impor dan bahkan sejak 2017 sudah ekspor. Dulu pun impor cabai segar, sejak 2016 sudah swasembada," ujarnya.
Untuk komoditas lain juga sudah ekspor ayam, ekspor telur, ekspor 62 ribu kambing dan lainnya. Volume ekspor, jenis komoditas, negara tujuan ekspor meningkat. Neraca perdagangan sektor pertanian 2017 surplus sekitar Rp 200 triliun.
(Baca: Ekspor Komoditas Pertanian Meningkat Sepanjang April 2018)
“Kelima, investasi pertanian 2017 Rp 45 triliun naik 14 persen,” tambah Menix.
Keenam, data BPS pun menyebutkan jumlah penduduk miskin 3 tahun terakhir menurun. Penurunan kemiskinan terjadi akibat kebijakan pangan karena penduduk di pedesaan sebagian besarnya adalah petani.
Ketujuh, data BPS yang dirilis 17 Mei 2018 menyebutkan nilai ekspor komoditas pertanian mencapai 298,5 juta dollar AS atau tumbuh 6,11 persen (month to month) dan 7,38 persen (year on year).
Swasembada
Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) di sektor pertanian pada tahun 2017-2018 naik mencapai 4,41 persen.
“Capaian ini terjadi karena beberapa komoditas sudah swasembada alias tidak lagi impor. Adapun impor beras di tahun 2018 bukan karena kekurangan produksi, tapi produksi cukup,” ujar Menix.
“Buktinya selama beras impor sampe saat ini belum dikeluarkan di gudang dan selama Ramadhan hingga saat ini harga stabil. Kebijakan impor pun bukan dari Kementan, malah Kementan menolak,” kata dia.
Terkait pendataan pangan, Menix meminta agar percayakan data kepada institusi yang kompeten. Kini BPS sedang bekerja keras memperbaiki data pangan.
“Sabarlah menunggu, dalam waktu dekat akan dirilis BPS data pangan yang baru dengan metode kerangka sampling area,” ujarnya.