KOMPAS.com - Peneliti Suropati Syndicate mengemukakan empat parameter pengelolaan beras. Parameter itu adalah data stok beras, data pasokan beras ke pasar, harga beras, data importasi dan lainnya.
Dalam rilis yang diterima Kompas.com dari Kementerian Pertanian, peneliti Suropati Syndicate, Alhe Laitte, mengemukakan hal itu sebagai tanggapan atas tulisan Dwi Andreas Santosa berjudul "Buruknya Tata Kelola Beras" di Harian Kompas pada pada Rabu (2/8/2017).
Dwi Andreas Santosa adalah Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB). Selain itu, Dwi Andreas Santosa adalah Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) dan Center of Reform on Economics Indonesia.
Suropati Syndicate meragukan validitas data pangan AB2TI pada 60 kabupaten. Menurutnya, data itu tidak presisi menggambarkan kondisi nasional tapi digeneralisasi seolah berlaku nasional. "Semua orang paham, pertanian Indonesia sangat luas dengan karakteristik beragam antarwilayah," ujar Alhe.
Iamembeberkan data dari pihaknya dari data survei Badan Pusat Logistik ( BPS) tentang stok beras 2015. Data pada Maret 2015 menunjukkan ada 8,07 juta ton beras tersebar di rumah tangga, penggilingan, pedagang, dan hotel, restoran, kafe (horeka), serta di Badan Urusan Logistik (Bulog).
Pada Juni 2015, stok beras di posisi 9,69 juta ton. Per September 2015, stok beras mencapai 8,12 juta ton.
Sementara, Dwi Andreas Santosa menulis pada artikelnya itu bahwa angka tetap produksi padi tahun 2015 menurut BPS terjadi peningkatan produksi padi 6,42 persen, jagung 3,18 persen, dan kedelai 0,86 persen.
Menurut Alhe, pada jangka waktu di atas,"Ternyata kebijakan, langkah antisipasi dan gerak cepat pemerintah mendistribusikan pompanisasi di sungai sungai dan menanam di lahan rawa, lebak, pasang surut yang potensial saat kering, terbukti mampu memproduksi padi secara signifikan dan tersedia stock beras cukup."
Pasar Induk Beras Cipinang
Alhe mengatakan ihwal parameter kedua data pasokan beras ke pasar. Di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) ada data yang menunjukkan peningkatan pada 2014-2016.
Pemasukan beras tahun 2015 total 954.991 ton lebih tinggi dari 2014 sebesar 812.974 ton. Demikian juga stok beras PIBC 2016 rerata 44.785 ton per bulan lebih tinggi 19,8 persen dibandingkan 2015 sebesar 37.390 ton per bulan.
Pada tahun 2015 stok beras PIBC lebih tinggi 32,4 persen dibandingkan 2014 sebesar 28.250 per bulan. "Data di sepuluh pasar besar lainnya juga menunjukkan stok beras di pasaran melimpah pada 2015 dan meningkat lagi pada 2016," tuturnya.
Parameter ketiga tentang harga, Alhe mengatakan diperlukan sikap kehati-hatian dalam menganalisa harga beras dikaitkan produksi.
Uji statistik menunjukkan tidak ada korelasi jumlah pasokan beras dengan harga eceran. Pembentuk harga beras eceran antara lain sistem distribusi, logistik, tata niaga, struktur, dan perilaku pasar.
Menurut dia, kondisi stok beras di pasaran melimpah pada masa paceklik Januari-Februari 2016. Artinya, terjadi surplus beras pada akhir 2015.
Alhe menduga beras pada November 2015 hingga awal Januari 2016 "sembunyi" atau ada di gudang-gudang.
Menurut dia, ada tindakan segelintir orang menahan stok di saat paceklik sehingga harga melambung tinggi hingga Rp 9.000-12.500/kg. Mereka kemudian melepas stok menjelang musim panen raya sehingga harga beras jatuh Rp 7.500-8.500/kg.
"Ini merupakan perilaku pasar yang tidak sehat," kata Alhe.
Parameter keempat adalah importasi. Alhe berpendapat, Dwi Andreas Santosa menyajikan data impor beras tahun 2014 sebesar 0,84 juta ton, 2015 sebesar 0,86 juta ton, 2016 sebesar 1,28 juta ton serta 2017 sebesar 71 ribu ton.
Dwi Andreas, kata dia, tidak menganalisa data sehingga seolah terjadi impor semakin tinggi. Padahal, tidak demikian.
"Impor beras 2016 itu sebagian besar masuk pelabuhan Indonesia awal 2016 dan dicatat BPS pada 2016. Itu adalah beras medium luncuran impor Bulog dari kontrak Oktober 2015," ujarnya.
Sesuai data Kode HS, Alhe melanjutkan, terjadi impor beras pada 2017 sebesar 71 ribu ton. Beras yang diimpor bukan jenis medium, melainkan beras pecah, menir, sake beras dan lainnya.
Kementerian Perdagangan menyebutkan sejak awal 2016 hingga sekarang, kementerian tidak mengeluarkan izin impor beras medium dan tidak ada impor beras medium.
Demikian juga, imbuh Alhe, data impor jagung sejak Januari 2017 hingga sekarang jumlahnya kecil yakni 93 ribu ton meliputi impor tepung jagung, bibit, minyak dari jagung, bungkil dan lainnya.
"Pemerintah 2017 tidak menerbitkan izin impor jagung pakan ternak dan tidak ada impor jagung untuk pakan ternak," katanya.
Suropati Syndicate juga membantah kesejahteraan petani terus menurun sejak empat tahun terakhir. Sejumlah indikator bisa menjadi bukti.
Pertama, data Nilai Tukar Petani (NTP) Nasional 2015 sebesar 101,59 dan naik 2016 menjadi 101,69, sedangkan Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) 2015 sebesar 107,45 naik 2016 menjadi 109,93.
Kedua, sebagian besar petani tinggal di desa. Sesuai data BPS, jumlah penduduk miskin di perdesaan Maret 2015 sebanyak 17,94 juta jiwa, turun Maret 2016 menjadi 17,66 juta jiwa dan Maret 2017 menjadi 17,09 jiwa. Ketiga, data Gini Rasio di perdesaan pada Maret 2015 sebesar 0,334 turun Maret 2016 menjadi 0,327 dan turun lagi Maret 2017 menjadi 0,320.
Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian Suwandi mengatakan kementerian bekerja sama dengan Lapan mengembangkan teknologi satelit sejak dua tahun lalu. Dengan teknologi itu, kementerian bisa memantau luas dan sebaran pertanaman padi se-Indonesia. Kerja sama ini bertujuan meningkatkan kualitas data pangan.
Suwandi menambahkan data tabular dan spasial luas tanam dan luas panen serta standing-crop dipantau dengan citra satelit-8 LAPAN resolusi 1 pixel setara 900 m2 dan resolusi temporal 16 hari sekali. Data diolah komputerisasi sehingga mampu menekan personal error. Data dipublikasikan secara transparan dan bisa diakses di http://sig.pertaian.go.id
Suwandi mengatakan, satu-satunya lembaga statistik resmi yang memiliki otoritas dan kompeten soal data pangan adalah Badan Pusat Statistik (BPS). Sedangkan, satu peta dikoordinasikan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG).
"Sesuai kebijakan pemerintah tentang “satu data dan satu peta,” ujarnya.
BPS telah bekerja sama dengan BPPT dan instansi terkait mengembangkan metode pendataan pangan dengan Kerangka Sampling Area (KSA). "Jadi bila ada pihak lain yang merasa memiliki data-data pangan maupun metodologi silakan dikomunikasikan dengan BPS," kata Suwandi.