KOMPAS.com – Ribuan payung penuh warna dengan gambar lukisan di mukanya menghiasi kawasan Candi Borobudur selama tiga hari. Terhitung mulai 7-9 September 2018.
Inilah Festival Payung Indonesia 2018 yang menyemarakkan pesona Borobudur di akhir pekan. Pemandangan itu seakan membuat pengunjung betah berlama-lama di sana.
Bertemakan ‘Sepayung Indonesia, Lalitavistara’, Festival Payung Indonesia dipamerkan dengan ragam kreasi penuh makna, sebagaimana kisah dalam relief Borobudur yang menunjukkan payung sebagai simbol tahapan kehidupan manusia dan perekat keberagaman.
Anggota Gugus Tugas Nasional Gerakan Nasional Revolusi Mental Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK) Profesor Paulus Wirutomo dan Taufik Rahzen turut hadir menyaksikan langsung festival yang diselenggarakan di Taman Lumbini kawasan Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB), Magelang, Jawa Tengah itu.
Ia juga menjelaskan betapa kagumnya ia. Dari tangan seniman dan perajin, payung berhasil disulap menjadi benda seni yang bernilai.
Sudah begitu, kata dia, ini sukses menjadi magnet yang memikat wisatawan.
"Festival ini merupakan hasil proses dari etos kerja dan gotong royong masyarakat, yang mana turut melibatkan seribu lebih seniman dan perajin. Mereka bisa membuktikan kemandiriannya dengan berkreasi di media yang universal," tambahnya.
Terkait pemaknaan Festival Payung Indonesia, Sosiolog dari Universitas Indonesia itu memandang payung dan keagungan Borobudur adalah medium yang tepat untuk mengajak masyarakat berpikir kembali mengenai multikulturisme dan semangat kemanusiaan.
Hal tersebut diamini oleh Direktur Program Festival Payung Indonesia Heru Mataya.
“Dengan melibatkan berbagai elemen dari hampir 30 daerah di Indonesia bahkan mancanegara, Festival Payung diharapkan membawa dampak positif, baik untuk menggairahkan kembali seni payung, menebar pesan keberagaman, bahkan juga sebagai pemberdayaan ekonomi para seniman,” tutur Heru.