KOMPAS.com – Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia kini memasuki babak baru. Dompet Dhuafa bersama Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ( FEB UI) menggagas lahirnya paradigma baru dalam penanggulangan kemiskinan melalui kolaborasi strategis antara filantropi Islam, akademisi, dan pemerintah.
Kolaborasi tersebut ditandai dengan pelaksanaan Diskusi Publik bertajuk “Menimbang Komitmen dan Arah Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan ke Depan” yang digelar di Auditorium MPKP FEB UI, Kampus UI Salemba, Jakarta, Selasa (14/10/2025).
Kegiatan itu menjadi momentum penting untuk memperkuat sinergi kebijakan berbasis bukti dan nilai-nilai syariah dalam mengatasi ketimpangan sosial secara berkelanjutan.
Kepala PEBS FEB UI Rahmatina A Kasri memandu jalannya diskusi yang menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Kementerian PPN/Bappenas Tirta Sutedjo, Direktur Strategi Kebijakan dan Pengelolaan Ekonomi DJSEF Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suska, hingga Staf Pengajar FEB UI Jossy P Moeis.
Ketua Pengurus Yayasan Dompet Dhuafa Ahmad Juwaini menegaskan bahwa kolaborasi ini merupakan langkah awal memperkuat ekosistem ekonomi syariah agar lebih berdampak pada pengentasan kemiskinan.
Baca juga: Pertanian Motor Pengentasan Kemiskinan dan Pengangguran
Ia menyoroti perlunya transformasi peran zakat, perbankan, asuransi, dan industri halal sebagai bagian dari solusi struktural, bukan sekadar wacana.
“Selama ini zakat sering disebut sebagai instrumen pengentasan kemiskinan, tetapi belum diimplementasikan secara sistematis,” ujar Ahmad dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Jumat (31/10/2025).
Menurutnya, pemerintah perlu membangun koordinasi lintas lembaga dan memasukkan kontribusi zakat dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Dompet Dhuafa bersama Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menggelar Diskusi Publik bertajuk ?Menimbang Komitmen dan Arah Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan ke Depan? yang digelar di Auditorium MPKP FEB UI, Kampus UI Salemba, Jakarta, Selasa (14/10/2025).Dari sisi pemerintah, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Kementerian PPN/Bappenas Tirta Sutedjo memaparkan strategi baru dalam RPJMN 2025–2029.
Ia menyoroti target penurunan kemiskinan yang cenderung melandai serta pentingnya program, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, dan Koperasi Merah Putih untuk memperluas akses pendidikan dan ekonomi masyarakat di daerah prioritas.
Baca juga: Manulife Aset Manajemen Dukung Akses Pendidikan Inklusif
Secara khusus, ia menyinggung adanya rencana pembangunan bertahap 500 Sekolah Rakyat di sejumlah wilayah prioritas penurunan kemiskinan, seperti Sumatera Utara, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua, yang ditujukan untuk mengatasi masalah anak putus sekolah.
Senada dengan Tirta, Direktur Strategi Kebijakan dan Pengelolaan Ekonomi DJSEF Kemenkeu Suska menegaskan bahwa meskipun angka kemiskinan menurun, jumlah penduduk rentan masih tinggi dan membutuhkan perhatian serius.
"Proporsi penduduk miskin berkurang, namun perlu diperhatikan distribusi penduduk rentan," katanya.
Suska menegaskan bahwa kebijakan fiskal pemerintah tetap berkomitmen pada pengentasan kemiskinan melalui berbagai program yang meski tidak secara langsung diberi label demikian, namun dirancang untuk memastikan tersalurnya bantuan sosial dan kebijakan yang mampu menjembatani kesenjangan sosial.
Baca juga: Mensos: Sekolah Rakyat Kedepankan Kesetaraan Kesempatan, Bukan Kesenjangan Sosial
Sementara itu, Staf Pengajar FEB UI Jossy P Moeis menyoroti pentingnya evaluasi terhadap arah reformasi kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Ia menilai adanya perbedaan mencolok antara data kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia menunjukkan perlunya kesepakatan bersama dalam mendefinisikan serta mengukur kemiskinan secara lebih komprehensif.
Jossy juga mengungkapkan bahwa ketimpangan sosial di Indonesia terus meningkat sejak 1970 hingga 2019. Menurutnya, kondisi ini menuntut adanya perubahan paradigma atau paradigm shift dalam pembangunan nasional.
Ia mengkritik praktik pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata, berfokus pada angka, dan cenderung materialistik serta dehumanisasi, seperti pembangunan infrastruktur fisik yang tidak diimbangi dengan penguatan nilai kemanusiaan.
Baca juga: Keluarga adalah Sekolah Pertama Kemanusiaan
"Pembangunan seharusnya membangun manusia menjadi berbudaya. Kerja keras, produktif, worshipping God," tegas Jossy.
Karena itu, ia mendorong agar arah pembangunan ke depan kembali menitikberatkan pada penguatan nilai-nilai dan karakter manusia, bukan sekadar pencapaian fisik.
Diskusi yang dihadiri banyak mahasiswa tersebut diharapkan menjadi kontribusi konstruktif bagi pemerintah dan masyarakat sipil dalam merumuskan kebijakan pengentasan kemiskinan yang lebih inklusif, berkeadilan, dan berakar pada nilai kemanusiaan.