KOMPAS.com - Dalam upaya meningkatkan produktivitas dan produk sawit rakyat, pemerintah terus berkomitmen mendukung sektor perkebunan kelapa sawit.
Salah satu upaya tersebut diwujudkan melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) atau replanting.
Pada 2023, realisasi program PSR mencapai 53.012 hektar (ha) atau meningkat 72,35 persen jika dibandingkan capaian pada 2022 yang sebesar 30.759 ha.
Penyaluran dana PSR pada 2023 mencapai Rp 1,5 triliun dan diberikan kepada 21.020 pekebun.
Dalam keterangan pers yang disampaikan di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (27/2/2024), Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyoroti beberapa poin krusial dari rapat tersebut.
Baca juga: Pola Kemitraan, Strategi Jitu Kementan Akselerasi PSR dan Kesejahteraan Pekebun
Salah satu poin krusial tersebut terkait realisasi program penanaman kembali sawit yang hanya mencapai 30 persen dari target 180.000 ha.
Airlangga menekankan, salah satu penghambat utama adalah regulasi yang proses replanting bagi pekebun rakyat yang sulit.
“Nah, salah satu yang menjadi kendala adalah kendala di regulasi. Oleh karena itu, tadi diminta agar Kementerian Pertanian (Kementan) mengkaji Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) ini karena kebun rakyat tidak bisa di-replanting karena diminta dua hal,” ujarnya melansir ekon.go.id.
Sebab, mereka diminta sertifikat dan rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Dalam program PSR, pekebun sawit rakyat bisa mendapatkan dana bantuan sebesar Rp30 juta per ha dengan luas kebun maksimal 4 ha pada tahun pertama.
Baca juga: Target PSR Terancam, Banyak Pengembang Hijrah Bangun Rumah Komersial
Untuk tahun kedua dan selanjutnya, pekebun dapat memanfaatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan batas maksimal pagu Rp 500 juta dengan bunga 6 persen per tahun.
Saat ini, pemerintah sedang mengusulkan kenaikan dana bantuan tersebut menjadi Rp 60 juta untuk biaya pembangunan kebun, perawatan, tanaman sela, pendampingan sampai dengan tanaman mulai berbuah (P0–P3) dengan kebutuhan biaya Rp 10,8 triliun.
Pihaknya juga mengusulkan kenaikan dana untuk replanting yang sekarang diberikan Rp 30 juta untuk dinaikkan menjadi Rp 60 juta.
“Kenapa harus dinaikkan ke Rp 60 juta? Karena dari hasil kajian naskah akademik dan dari hasil komunikasi dengan para pekebun, itu untuk replanting mereka baru bisa berbuah di tahun ke empat,” katanya.
Airlangga mengatakan, dana yang semula Rp 30 juta hanya cukup untuk pekebun hidup pada tahun pertama.
Baca juga: Sawit Jadi Komoditas Penting, Gapki Didorong Wapres Dukung Program PSR
“Beli bibit dan hidup pada tahun pertama. Kalo ditingkatkan menjadi Rp 60 juta, biaya hidup sekitar Rp 15 juta per tahun itu bisa di-cover,” ungkapnya.
Dengan begitu, sebut dia, mereka bisa melakukan tanaman sela atau tanaman lain untuk menunjang hidup.
Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) itu mengatakan, pihaknya tengah merumuskan usulan tersebut dalam pembahasan lanjutan.
Selain itu, pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sedang mempersiapkan program beasiswa untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) kelapa sawit unggul dan menjamin keberlanjutan industri kelapa sawit sesuai dengan tantangan industri dan prinsip keberlanjutan.
Kemudian, ada pula kendala keterlanjuran lahan atau kondisi izin, konsesi, hak atas tanah, dan/atau hak pengelolaan yang diterbitkan dan berlaku saat itu tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini.
Baca juga: Agar Penyaluran Dana PSR Berjalan Baik, Anggota Komisi XI Minta BPDPKS Lakukan Sosialisasi
“Mengenai keterlanjuran lahan, dilihat dari daftar yang sudah masuk, keluarannya masih sangat sedikit,” ujarnya.
Padahal, kata Airlangga, keterlanjuran lahan sudah masuk dalam Undang-undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker) dan sudah dikerjakan sejak 2021.
“Oleh karena itu, perlu ada percepatan penyelesaian keterlanjuran lahan untuk pekebun rakyat, termasuk untuk pembagian wilayah Tanah Objek Reforma Agraria (TORA)-nya juga harus didorong,” jelasnya.