KOMPAS.com - Direktur Jenderal (Dirjen) Minyak dan (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengatakan, gas adalah masa depan bagi Indonesia.
Selain dimanfaatkan sebagai bahan energi, khususnya listrik, gas juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam industri pupuk, gas alam cair (LNG), hingga untuk ekspor.
Dia menyebutkan, jika industri energi baru terbarukan (EBT) sudah tumbuh, gas akan dipakai untuk industri, contohnya bahan plastik.
“Dunia tidak bisa hidup tanpa petrokimia gas. Jadi, gas akan dipakai seumur dunia karena produk petrokimia akan dipakai terus,” ujarnya dalam acara Migas Goes to Campus Institut Teknologi Bandung (ITB) 2023 yang ditayangkan di kanal YouTube Halo Migas Ditjen Migas, Sabtu (2/12/2023).
Pemanfaatan migas juga diiringi dengan volume kebutuhan gas domestik yang terus meningkat. Sejak 2012, volume pemanfaatan gas bumi domestik lebih besar dibandingkan ekspor.
Baca juga: Menteri ESDM Dukung 2 Proyek Migas Ini Jadi PSN
“Dalam 20 tahun terakhir, pemanfaatan gas bumi kita meningkat sampai sekitar 70 persen. Sebelumnya, kita hanya memakai 30 persen, 70 persennya kita ekspor. Sekarang kita balik,” ujarnya.
Ariadji mengatakan, dalam Neraca Gas Indonesia 2025-2035, Indonesia sudah kekurangan pasokan gas pada 2035 sehingga harus dilakukan eksplorasi baru dan yang sudah ada.
Saat ini, pemanfaatan gas bumi terbesar adalah untuk sektor industri sebesar 28,52 persen, pupuk 12,62 persen, dan ketenagalistrikan 12,22 persen. Porsi ekspor dari total pemanfaatan gas bumi adalah LNG sebesar 23,43 persen dan gas pipa 8,18 persen.
Ariadji menambahkan, tantangan dalam industri gas adalah distribusi. Dia mencontohkan, Jawa Timur (Jatim) memiliki kelebihan produksi gas, sedangkan Jawa Barat (Jabar) memiliki kebutuhan yang besar.
“Ini tidak bisa langsung dikirim, harus bikin LNG dulu. Akhirnya, kita bangun pipa. Sekarang baru 60 kilometer (km) dari Semarang ke Batang. Dua tahun lagi dilanjutkan ke Indramayu supaya di Jawa bisa nyambung semua,” jelasnya.
Baca juga: Jelang COP28, Industri Migas Dituntut Tetapkan Strategi Jelas Capai Netralitas Karbon
Saat ini, pemerintah tengah membangun infrastruktur pipa gas dari Cirebon ke Indramayu sepanjang 245 km dan Dumai ke Sei Mangkei sepanjang 428 km.
Ia menjelaskan, pemerintah tidak bisa mendistribusikan kebutuhan gas untuk daerah-daerah di bagian Timur Indonesia karena banyaknya palung bawah laut. Oleh karenanya, distribusi gas dilakukan menggunakan kapal laut.
Kemudian, pemerintah membangun fasilitas untuk regasifikasi LNG atau mengubah gas cair kembali menjadi gas sebelum didistribusikan.
“Kita diberi berkah banyak gas. Kuncinya kita bisa memanfaatkan atau tidak, jadi resource curse,” ujarnya.
Lebih lanjut, Guru Besar Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengatakan, negara yang tidak membangun industri barang jadi tidak akan menjadi negara maju.
Baca juga: Ditjen Migas Siap Distribusikan 52.865 Paket Perdana Konversi BBM ke BBG untuk Nelayan dan Petani
Dalam kaitannya dengan gas, pemerintah harus bisa memanfaatkan potensi gas dengan baik, salah satunya dengan hilirisasi gas.
Dia menjelaskan, pemerintah akan mengembangkan industri, seperti pabrik blue amonia untuk pupuk, natrium karbonat untuk kebutuhan industri, metanol untuk bahan bakar alternatif, dan lainnya.
“Pemerintah harus menentukan untuk apa saja gas-gas itu. Kuncinya adalah sellable. Kalau ini bisa dimanfaatkan dengan baik, lapangan pekerjaan banyak. Demand tumbuh, industrinya juga tumbuh,” ujarnya.
Ariadji mengatakan, selain tantangan dalam negeri di atas, terdapat tantangan luar negeri, yakni menurunkan emisi karbon.
Dalam hal ini, pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait merancang peta jalan Net Zero Emission (NZE) 2060.
Untuk mewujudkan target itu, pemerintah pun menyusun roadmap transformasi energi 2021-2060. Roadmap ini berisi langkah-langkah penting mengurangi emisi, seperti pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, waste of energy, hingga co-firing untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
“Jika EBT dipakai, otomatis penggunaan bahan bakar minyak (BBM) akan turun, artinya impor akan turun. Jadi, pengembangan EBT di-encourage karena (energi fosil) tidak bisa memenuhi kebutuhan,” katanya.
Dalam peta jalan itu, target penurunan emisi karbon Indonesia sebesar 231,2 juta ton CO2e pada 2025, lalu menjadi 388 juta ton CO2e pada 2035, dan menjadi 1.043,8 juta ton CO2e pada 2050.
“Harapannya NZE akan tercapai. Apakah nol? Tidak. Pengurangannya sudah sangat besar. Net zero tidak berarti nol, tetapi ditangani dengan cara lain,” katanya.
Ariadji mengatakan, Indonesia tidak mengurangi migas karena dijadikan sebagai modal. Sebagai ganti, kandungan CO2 dalam produksi migas harus ditangani.
“Untuk orang-orang perminyakan, EBT harus tetap dikembangkan. Kalau tidak kita tidak bisa memenuhi kebutuhan karena penduduk Indonesia sangat besar,” katanya.
Dalam hal ini, penggunaan energi fosil harus menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, seperti carbon capture, utilization and storage ( CCUS) atau clean coal technology (CCT).
Kemudian, dilakukan pula akselerasi penggunaan energi baru terbarukan, seperti mendukung substitusi primer, konversi bahan bakar fosil, termasuk membangun industri kendaraan listrik hingga baterai.
“Energi hijau kita dorong juga. Biayanya dari mana? Dari bahan bakar fosil. Energi fosil diperlukan sebagai modal dasar untuk untuk transisi ke energi terbarukan,” ujarnya.
Ariadji menjelaskan, saat ini Indonesia belum siap dengan teknologi renewable energy. Jika menerima barang mahal dari negara lain, Indonesia akan jadi pasar.
Baca juga: Upaya Ditjen Migas Dekarbonisasi Industri Migas Indonesia untuk Capai NZE 2060
“Untuk kedaulatan energi, kita harus bangun sendiri. Indonesia ada nikel, kita bangun industri baterai supaya bisa mandiri,” ungkapannya.
Dengan adanya tujuan NZE 2060, produksi gas yang mengandung CO2 tidak boleh dibuang begitu saja. Oleh karenanya, pengembangan CCS atau CCUS sangat penting.
Ariaji mengatakan, sektor industri, lapangan migas, hingga pembangkit listrik tenaga uap yang menghasilkan CO2 bisa menggunakan teknologi tersebut.
Industri semen atau baja yang menghasilkan karbon dioksida bisa diinjeksikan ke akuifer atau ke bawah tanah.
“Ini akan kami bungkus dalam peraturan menteri (permen) agar menjamin (skema) tersebut bisa jalan. Mudah-mudahan permen ini tahun ini bisa keluar,” katanya.
Kementerian ESDM juga telah mengeluarkan permen yang mengizinkan setiap kegiatan perminyakan dengan skema cost recovery.
Baca juga: Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia Perlu Terapkan 3 Prinsip Ini
Ariadji mengatakan, jika ada kegiatan CCS atau CCUS, skema yang dilakukan adalah plan of development (POD), yakni membangun reservoir dalam pengembangan lapangan minyak.
“Jadi, kalau ada perusahaan melakukan injeksi, pemerintah juga menanggung atau tidak dibayar semua oleh perusahaan,” katanya.
Kemudian, ada pula skema cross border CO2 atau mentransmisikan karbon dioksida dengan alat transportasi untuk menyimpannya ke dalam storage.
“Jadi, emisi dari Jepang bisa dibawa ke Indonesia. Dagang saja, kita punya storage sebesar ini dan tidak bocor. Ini bisnis masa depan," sebutnya.
Ariadji mencontohkan, pemerintah Jepang mengharuskan perusahaan industrinya tidak boleh mengeluarkan CO2 sehingga akan disimpan di Indonesia.
Baca juga: Upaya Bersama Percepat Transisi Energi Bersih di Sektor Ketenagalistrikan
“Indonesia memiliki storage yang banyak bisa menjadi masa depan bisnis yang besar,” katanya.