Indonesia Terapkan PP Tunas, Ini Kelebihannya Dibanding Regulasi Keamanan Digital Anak di Negara Lain

Kompas.com - 08/12/2025, 10:06 WIB
Tsabita Naja,
Mikhael Gewati

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Pesatnya kemajuan teknologi informasi membawa dampak signifikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk cara anak-anak tumbuh dan berinteraksi.

Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, ruang digital juga menyimpan potensi risiko yang mengancam tumbuh kembang anak, mulai dari paparan konten berbahaya, cyber bullying, hingga eksploitasi data pribadi.

Menyadari urgensi tersebut, sejumlah negara memperkuat regulasi ruang digitalnya, seperti Australia, Britania Raya, China, Amerika Serikat (AS), Jepang, termasuk Indonesia.

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak, yang dikenal sebagai PP Tunas, Pemerintah Indonesia berkomitmen melindungi anak di ruang digital.

Baca juga: PP Tunas: Batasi Akses Anak di Ruang Digital, Lindungi dari Cyberbullying dan Paparan Konten Negatif

PP Tunas hadir bukan untuk membatasi kreativitas anak di dunia digital, melainkan memastikan mereka tetap aman dan terlindungi. 

Regulasi ini bertujuan meningkatkan tanggung jawab Penyelenggara Sistem Elektronik ( PSE) serta mewujudkan tata kelola sistem elektronik yang ramah anak.

Regulasi pelindungan anak di ruang digital di sejumlah negara

Selain Indonesia, beberapa negara di bawah ini memiliki regulasi terkait pelindungan anak di ruang digital dengan ketentuan yang beragam. 

1. Australia

Australia mengesahkan Online Safety Act 2024 sebagai amandemen Online Safety Act 2021 untuk melindungi warganya dari penyalahgunaan ruang digital, seperti pelecehan berbasis gambar, cyber abuse, atau cyber bullying.

Melalui kebijakan tersebut, pemerintah setempat berkomitmen mempercepat respons penghapusan konten dengan memberikan wewenang kepada eSafety Commissioner (eSafety) untuk menghapus konten daring yang dinilai berbahaya.

Baca juga: Etika Menggunakan Teknologi AI, Panduan untuk Kreator Konten

Terkait penggunaan media sosial, Parlemen Australia mewajibkan platform media sosial tertentu, yang memiliki konten atau layanan berdasarkan batasan usia, untuk memastikan anak-anak di bawah usia 16 tahun tidak memiliki akun.

Kebijakan yang diterapkan Australia berfokus pada penguatan regulator, batasan usia kepemilikan akun media sosial, dan penghapusan konten secara cepat.

Di sisi lain, PP Tunas mengatur akses digital anak berdasarkan usia 13, 16, dan 18 tahun. Anak usia 13 tahun hanya boleh mengakses platform berisiko rendah, usia 16 tahun dapat menggunakan layanan berisiko kecil hingga sedang, sementara usia 16–18 tahun bisa mengakses fitur yang lebih luas.

Terkait batas minimum usia kepemilikan akun media sosial, PP Tunas tidak mengatur hal ini secara rinci seperti Online Safety Act 2024 milik Australia. Namun, kebijakan terkait pembatasan ini akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri (Permen) Komdigi.

Baca juga: Komdigi Serahkan 20 Starlink dan 2 Ton Bantuan untuk Percepatan Penanganan Bencana Aceh

Direktur Jenderal (Dirjen) Pengawasan Ruang Digital, Alexander Sabar mengatakan, saat ini Komdigi sedang menyusun permen yang mengatur ketentuan teknis, termasuk batasan minimum usia untuk platform yang mengharuskan kepemilikan akun.

“Diharapkan, (permen) bisa diselesaikan dan terbit dalam waktu yang tidak terlalu lama,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Jumat (5/12/205).

Meski memiliki perbedaan, Online Safety Act 2024 dan PP Tunas sepakat untuk melindungi konsumen, terutama anak-anak, dari paparan materi berbahaya dalam ruang digital.

Baca juga: Lindungi Anak di Internet, Pemerintah Gandeng Platform Digital selain Sahkan PP Tunas

2. Britania Raya

Pada Januari 2020, Britania Raya melalui Information Commissioner's Office (ICO) mengesahkan Age Appropriate Design Code (Children's Code).

Regulasi tersebut mewajibkan penyedia layanan daring untuk merancang ruang digital yang ramah anak dengan mempertimbangkan kebutuhannya.

Selain itu, setiap platform juga harus proaktif menilai usia pengguna dan memastikan pengaturan privasi dirancang pada tingkat privasi tertinggi bagi anak. Platform digital juga dilarang menggunakan teknik nudging yang mendorong anak memberikan data pribadi yang tidak diperlukan.

Baca juga: Tips Keamanan Siber: Melindungi Data Pribadi

Children’s Code yang berlaku di Britania Raya sejak September 2020 selaras dengan isi PP Tunas. Keduanya menuntut PSE untuk menciptakan ruang digital yang ramah anak.

PP Tunas Pasal 17 huruf A secara khusus melarang PSE menerapkan praktik terselubung dan tidak transparan yang mendorong anak mengungkapkan data pribadi lebih dari yang diperlukan. Adapun Pasal 19 melarang profiling data anak untuk kepentingan komersialisasi.

Kedua pasal tersebut sejalan dengan prinsip Children’s Code dalam membatasi pengumpulan dan pemanfaatan data anak.

Baca juga: 7 Cara Backup Data agar Tetap Aman dari Kehilangan dan Kerusakan

3. China

Minor Protection Law (MPL) & Online Gaming Regulations di China menerapkan pendekatan yang ketat dengan fokus pada pelindungan anak dari bahaya game online dan kecanduan internet. 

Kebijakan tersebut mewajibkan platform game online menampilkan nama asli pengguna, membatasi durasi bermain bagi anak di bawah 18 tahun, serta melarang penyediaan layanan game online untuk anak di bawah 18 tahun pada pukul 10.00 malam hingga 08.00 pagi.

Seperti halnya MPL di China, PP Tunas Pasal 15 juga mengatur tanggung jawab PSE dalam menyediakan layanan game online. Namun, PP Tunas lebih menekankan pada tanggung jawab perlindungan data anak, sementara China lebih fokus pada pembatasan waktu dan durasi.

Jika dibandingkan dengan regulasi dari tiga negara tersebut, PP Tunas mengatur tanggung jawab PSE secara komprehensif, mulai dari rancangan platform, pelindungan data, hingga kewajiban menyediakan fitur pengamanan digital bagi anak.

Baca juga: Berakhirnya Era “Safe Harbor”, Platform Digital Terancam Sanksi Jika Tak Ramah Anak

Keterlibatan orangtua dan sekolah

Peneliti media sosial dan kesejahteraan sekaligus dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Eka Riyanti Purboningsih menyambut positif kehadiran PP Tunas.

Menurut Eka, perlindungan anak di ruang digital merupakan hal yang rentan karena ruang digital terkadang sulit diawasi orangtua dan arus informasinya tidak dapat disaring. Oleh karena itu, ia mengaku bersyukur dengan lahirnya PP Tunas.

“PP Tunas menunjukkan perhatian dan concern pemerintah pada perlindungan anak di era digital. Saya pribadi bersyukur akhirnya keluar juga PP ini,” ujar Eka, seperti dikutip Kompas.com, Senin (1/12/2025).

Ia menilai, tantangan penerapan PP Tunas terletak pada konsistensi, kolaborasi, dan dukungan lintas pihak. Eka menekankan pentingnya keterlibatan orangtua dan guru sebagai pendamping utama anak di rumah dan di sekolah.

Baca juga: Menkomdigi Ajak Orangtua Lindungi Anak dari Ancaman Dunia Digital Lewat Microsite PP Tunas

“Dengan melibatkan sekolah, kita bisa menjangkau mayoritas anak di Indonesia. Guru bisa menjadi ujung tombak edukasi digital yang sehat,” ucapnya.

Senada dengan Eka, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kawiyan mengatakan bahwa edukasi digital juga harus diberikan kepada orangtua dan sekolah sebagai komponen penting dalam menciptakan perlindungan anak di ruang digital.

Menurutnya, kini terdapat jurang antara pemahaman anak dengan orangtua terkait internet dan gawai yang membuat orangtua tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai pendamping aktivitas anak di ruang digital.

"Di sisi lain, ada orangtua yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang digital cukup memadai, tetapi sibuk dan tidak punya waktu untuk membersamai, mendampingi, mengedukasi, dan mengawasi anak," kata Kawiyan, dilansir dari Kompas.com, Rabu (26/11/2025).

Baca juga: Apa Dampak Orangtua yang Toxic Bagi Anak hingga Dewasa?

Sementara itu, sekolah wajib menyediakan fasilitas internet untuk mendukung kegiatan belajar dengan tetap memastikan tidak ada penyimpangan selama anak-anak beraktivitas di ruang digital.

"Sekolah harus menjadi ruang aman bagi anak untuk belajar dan mengembangkan diri, termasuk aman di ruang digital. Melindungi anak bukan dengan melarang mereka membawa handphone (HP) ke sekolah, tetapi bagaimana anak bisa bersikap bijak," jelas Kawiyan.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa tanpa edukasi dan pendampingan, anak-anak akan tetap menjadi pihak yang paling rawan terhadap kekerasan di ranah digital.

"Karena itu, penting sekali jika PP Tunas mewajibkan PSE untuk melakukan edukasi dan memberdayakan ekosistem digital kepada orangtua, anak, sekolah, dan masyarakat," tegas Kawiyan.

Baca juga: Kementerian Komdigi Blokir eBay dan 2 PSE Lain di Indonesia

Ia berharap, pemerintah dapat menjalankan PP Tunas dengan pengawasan ketat serta memastikan produk, layanan, dan fitur yang disediakan PSE sudah ramah anak.

Terkini Lainnya
Tekan Pemalsuan Identitas, Indonesia Perlu Terapkan Teknologi Biometrik Nasional “Face Recognition

Tekan Pemalsuan Identitas, Indonesia Perlu Terapkan Teknologi Biometrik Nasional “Face Recognition

Komdigi
Registrasi Kartu SIM Berbasis “Face Recognition” Dinilai Mampu Tutup Celah Kejahatan Digital

Registrasi Kartu SIM Berbasis “Face Recognition” Dinilai Mampu Tutup Celah Kejahatan Digital

Komdigi
Indonesia Terapkan PP Tunas, Ini Kelebihannya Dibanding Regulasi Keamanan Digital Anak di Negara Lain

Indonesia Terapkan PP Tunas, Ini Kelebihannya Dibanding Regulasi Keamanan Digital Anak di Negara Lain

Komdigi
Upaya Pemerintah Cegah Candu Digital: Tunggu Anak Siap Sesuai Perkembangannya

Upaya Pemerintah Cegah Candu Digital: Tunggu Anak Siap Sesuai Perkembangannya

Komdigi
PP Tunas: Batasi Akses Anak di Ruang Digital, Lindungi dari Cyberbullying dan Paparan Konten Negatif

PP Tunas: Batasi Akses Anak di Ruang Digital, Lindungi dari Cyberbullying dan Paparan Konten Negatif

Komdigi
Stop Kekerasan di Ruang Digital, Saatnya Kolaborasi untuk Masa Depan Anak Indonesia

Stop Kekerasan di Ruang Digital, Saatnya Kolaborasi untuk Masa Depan Anak Indonesia

Komdigi
Berakhirnya Era “Safe Harbor”, Platform Digital Terancam Sanksi Jika Tak Ramah Anak

Berakhirnya Era “Safe Harbor”, Platform Digital Terancam Sanksi Jika Tak Ramah Anak

Komdigi
Kolaborasi Humas Kunci Bangun Kepercayaan Publik, Menkomdigi: Humas adalah Navigator Kebenaran di Tengah Kebisingan Digital

Kolaborasi Humas Kunci Bangun Kepercayaan Publik, Menkomdigi: Humas adalah Navigator Kebenaran di Tengah Kebisingan Digital

Komdigi
Sukses Terapkan Digitalisasi Sistem Informasi, Komdigi Raih Peringkat III di BKN Award 2025

Sukses Terapkan Digitalisasi Sistem Informasi, Komdigi Raih Peringkat III di BKN Award 2025

Komdigi
AJK 2025 Himpun 328 Karya, Menkomdigi: Jurnalis Berperan Besar Sosialisasikan PP Tunas

AJK 2025 Himpun 328 Karya, Menkomdigi: Jurnalis Berperan Besar Sosialisasikan PP Tunas

Komdigi
Arsip Digital Jadi Fondasi Transparansi, Komdigi Raih Predikat “Sangat Memuaskan” dari ANRI

Arsip Digital Jadi Fondasi Transparansi, Komdigi Raih Predikat “Sangat Memuaskan” dari ANRI

Komdigi
Menkomdigi: Pidato Presiden Prabowo di PBB, Sikap Berani Indonesia di Panggung Dunia

Menkomdigi: Pidato Presiden Prabowo di PBB, Sikap Berani Indonesia di Panggung Dunia

Komdigi
Bukan Sekadar Gerai, Ini Dampak Nyata Koperasi Desa Merah Putih 

Bukan Sekadar Gerai, Ini Dampak Nyata Koperasi Desa Merah Putih 

Komdigi
UU PDP Lindungi Data WNI dalam Kesepakatan Dagang RI-AS

UU PDP Lindungi Data WNI dalam Kesepakatan Dagang RI-AS

Komdigi
Koperasi Desa Merah Putih Bisa Apa Saja? Ini Peluang Usahanya

Koperasi Desa Merah Putih Bisa Apa Saja? Ini Peluang Usahanya

Komdigi
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com