KOMPAS.com - Pengamat Pertahanan Curie Maharani Savitri mengatakan, kontroversi seputar rancangan peraturan presiden (raperpres) dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) senilai Rp 1,7 kuadriliun sarat dengan upaya politisasi.
Padahal, sebut dia, sifat rancangan perpres sendiri masih pada tahap rencana.
“Kami concern ya ada upaya politisasi. Politisasi ini dalam artian ada kepentingan nonpertahanan dan membuat isu tersebut menjadi kontroversi publik," ujar Curie dalam serial diskusi Tanya Jawab Cak Ulung dengan tema "Membaca Anggaran Alutsista Rp 1,7 Kuadriliun" dari channel YouTube Republik Merdeka TV, Kamis (3/6/2021).
Baca juga: Bahas Anggaran Alutsista, Rapat Komisi I DPR dengan Prabowo Digelar Tertutup
Sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto telah mengungkapkan rencana pemerintah memperkuat alutsista lewat rancangan Perpres tentang pemenuhan kebutuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam) Kemhan dan TNI pada 2020-2024.
Mendengar penjelasan Prabowo, para anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) memberikan respons positif terkait rencana perpres.
Namun, rancangan perpres yang tengah disusun Kemenhan tersebut bocor ke publik dan menjadi kontroversi lantaran dibuka oleh beberapa pihak.
Kebocoran informasi itu menjadi perdebatan, meski Kemenhan menyatakan masih dalam proses menggodok regulasi tersebut.
Baca juga: Kemenhan Akui Prabowo Kenal Beberapa Orang PT TMI
Curie menjelaskan, perencanaan regulasi memang harus dilakukan Kemenhan atas instruksi Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi).
"Misalnya raperpres ini berbicara rencana strategis (renstra) jamak, maka terhitung 25 tahun ke depan merupakan instruksi presiden (inpres). Hal ini memang harus dilakukan Kemenhan sebagai perencana," imbuhnya.
Curie menyebut, perencanaan tersebut memang berbeda dari biasanya. Soal pendekatan, umumnya perencanaan pertahanan dimulai dari kapabilitas alat yang diinginkan, baru kemudian berbicara soal anggaran.
"Namun Kemenhan mencoba melakukan pendekatan baru. Dari yang tadinya capability based planning menjadi budget based planning, dan ini masih dalam proses," katanya.
Baca juga: Kemenhan Ungkap Lebih dari 50 Persen Alutsista Indonesia Tua dan Rusak
Melihat dinamika yang terjadi saat ini, Curie menilai, pembelian alutsista tidak tepat dilakukan sekarang karena akan menimbulkan kegaduhan.
Terlebih, rancangan tersebut belum final dan masih dikaji di internal pemerintah.
"Sepengetahuan saya, prosesnya sendiri intra di Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang terlibat. Jadi, kalau dibilang tertutup ya karena masin intra kementerian," jelasnya.
Selain masih intra kementerian, lanjut Curie, biasanya akan ada proses mengundang para ahli untuk membicarakan raperpres secara mendetail.
Baca juga: 5 Rekomendasi Komnas HAM kepada Presiden Terkait Polemik Raperpres TNI Atasi Terorisme
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menilai, polemik pengadaan alutsista sengaja dihembuskan pihak-pihak tertentu dengan kepentingan non-pertahanan dan mempolitisasi isu hingga menuai pro dan kontra.
Sebab, kesempatan Menhan Prabowo Subianto kembali maju dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024 masih terbuka lebar.
"Kelihatannya, polemik itu dimunculkan dari lawan politik Prabowo. Ya, dilihat saja. Bisa jadi Prabowo sedang mendapatkan serangan dari partai-partai lain karena dianggap menjadi calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) ke depan," ucap Ujang saat dihubungi pada Sabtu (5/6/2021).
Ujang menerangkan, posisi Prabowo sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Menhan membuatnya berpeluang maju dalam Pilpres 2024.
Baca juga: Gerindra Tak Mau Asumsikan Kedekatan Prabowo-Mega dengan Berkoalisi pada Pilpres 2024
"Potensi dia maju tetap tinggi," jelasnya.
Ujang mengingatkan, isu anggaran jumbo alutsista ini bisa menjadi "amunisi" bagi lawan-lawan politiknya apabila Prabowo telah resmi maju pada Pilpres 2024.
Menhan Prabowo, kata dia, bakal dipakai sebagai materi kampanye hitam (black campaign).
"Ya, isu ini akan terus digoreng dan jadi 'mainan lawan politik'. Mestinya Prabowo paham itu," imbuh akademisi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) tersebut.