KOMPAS.com - Dalam satu dekade terakhir, Indonesia mengalami transformasi ekonomi yang signifikan berkat kebijakan hilirisasi yang diusung oleh Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo ( Jokowi).
Langkah tersebut tidak hanya mengoptimalkan potensi sumber daya alam (SDA), tetapi juga menciptakan ekosistem industri yang lebih kuat, meningkatkan nilai tambah, dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira menyatakan bahwa hilirisasi telah memberikan dampak positif yang substansial bagi dunia usaha.
"Kami dari dunia usaha memberikan apresiasi atas kepemimpinan Pak Jokowi selama 10 tahun. Banyak prestasi dan torehan positif yang beliau lakukan. Kami melihat dampaknya terkait hilirisasi ini cukup banyak. Misalnya, dari sisi nikel, sebelum adanya larangan ekspor biji nikel, devisa yang masuk hanya sekitar 3 miliar dollar Amerika Serikat (AS),” ujarnya dalam acara Obrolan Newsroom Kompas.com, Kamis (17/10/2024).
Baca juga: Pilkada Jatim, Khofifah Semangati Kampung Songkok Jadi Desa Devisa di Gresik
Setelah larangan tersebut diterapkan, lanjut Anggawira, devisa negara meningkat hingga 34 miliar dollar AS. Kebijakan ini secara langsung meningkatkan neraca perdagangan Indonesia, yang positif selama 53 bulan berturut-turut.
Ia mengungkapkan bahwa salah satu keberhasilan utama dari hilirisasi adalah pengembangan industri nikel.
Dengan larangan ekspor bijih nikel, Indonesia berfokus pada pengolahan dan pemanfaatan nikel di dalam negeri. Hal ini tidak hanya meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru.
“Keberhasilan ini juga terlihat pada proyek smelter yang diresmikan di Gresik, hasil renegosiasi dengan PT Freeport Indonesia (PTFI), yang memungkinkan Indonesia mengontrol produksi tembaga dan mineral lainnya secara lebih efektif,” imbuh Anggawira.
Baca juga: Usai Kebakaran, Smelter Tembaga Freeport Berhenti Sementara
Untuk diketahui, Presiden Jokowi telah meresmikan produksi smelter Freeport di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik JIIPE, Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur (Jatim) pada Senin (23/9/2024).
Menurut Anggawira, renegosiasi dengan Freeport merupakan salah satu prestasi yang dicapai setelah puluhan tahun sejak perusahaan tambang ini pertama kali masuk ke Indonesia.
“Di bawah pemerintahan Pak Jokowi, kita akhirnya bisa mendorong Freeport untuk membangun smelter tersebut,” ucapnya.
Dengan adanya smelter, lanjut Anggawira, pemerintah dapat mengontrol produksi tembaga dan produk lainnya secara langsung, bukan hanya menerima laporan di atas kertas seperti sebelumnya.
Baca juga: Perkuat Eksplorasi Emas, Nikel, dan Bauksit, ANTAM Alokasikan Rp 125 Miliar
Anggawira berharap hilirisasi di sektor mineral lain, seperti bauksit dan timah, mampu membangun ekosistem industri yang kokoh ke depannya.
“Dalam ekosistem baterai, kita memiliki bahan baku, smelter, dan teknologi yang masuk dari Korea dan Eropa. Dengan terbangunnya ekosistem ini, industri lain akan datang, dan industri kita akan menjadi lebih kuat, bahkan mampu mengekspor,” jelasnya.
Menurut Anggawira, keberadaan industri juga membuka peluang untuk investasi yang akan menciptakan lapangan pekerjaan.
“Meskipun kita melihat penurunan dalam indeks pembangunan manusia (IPM) karena beberapa industri, seperti tekstil dan alas kaki yang dulu kuat tidak beroperasi dengan baik, kita harus berpikir untuk meningkatkan industri dalam negeri kita, sehingga lebih kompetitif secara teknologi," imbuhnya.
Baca juga: Profil Fauzan, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Kabinet Prabowo-Gibran
Sebelumnya, Jokowi mengatakan bahwa hilirisasi mineral mentah tidak hanya memberikan keuntungan bagi perusahaan, tetapi juga untuk pemerintah dan rakyat melalui pajak dan pendapatan lainnya.
“Ada yang mengatakan kepada saya, 'Pak, yang untung dari hilirisasi itu perusahaan. Rakyat dapat apa?' Jangan salah, kita mengumpulkan pajak dari situ, termasuk pajak perusahaan, pajak karyawan, bea ekspor, pajak ekspor, bea keluar, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Semua ini sangat signifikan,” ujarnya.
Pernyataan tersebut disampaikan Jokowi dalam pidatonya pada pembukaan Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXII dan Seminar Nasional 2024 di Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (19/9/2024).
Baca juga: Dokter Tekankan Pentingnya Air Mineral dengan Mineral Esensial untuk Para Pelari Marathon
Jokowi merinci pendapatan negara yang diperoleh dari hilirisasi. Dari sektor mineral dan batubara, PNBP melonjak menjadi Rp 172 triliun pada 2023, naik drastis dari Rp 29 triliun pada 2015.
“Ini baru PNBP, pajaknya belum saya rinci. Tapi saya yakin akan meningkat berkali-kali,” ujarnya.
Jokowi juga menyatakan bahwa peningkatan penerimaan pajak dari sektor mineral dan batubara dipengaruhi oleh kenaikan nilai ekspor.
Baca juga: Nilai Ekspor RI Pada September 2024 Capai 22,08 Miliar Dollar AS, Turun 5,80 Persen Secara Bulanan
Berdasarkan informasi dari Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), kebijakan hilirisasi nikel telah memberikan dampak pada peningkatan ekonomi hingga 10 kali lipat.
Peningkatan tersebut terlihat dari keuntungan ekspor produk turunan nikel yang melonjak. Pada 2017, ekspor tersebut hanya senilai 3,3 miliar dollar AS. Sedangkan di 2023, mencapai 33,8 miliar dollar AS.
Nilai ekspor produk olahan nikel juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2020 nilai ekspornya sebesar 5,68 miliar dollar AS. Pada 2021, nilainya naik menjadi 8,44 miliar dollar AS. Kemudian, naik menjadi 19,62 miliar dollar AS pada 2022. Sementara di 2023 mencapai 22,37 miliar dollar AS.
Baca juga: Impor Migas dan Non-migas Turun, Nilai Impor RI Pada September Jadi 18,82 Miliar Dollar AS
Meski berdampak positif, hilirisasi di Indonesia juga menghadapi berbagai tantangan. Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna menyoroti tantangan utama yang dihadapi dalam hilirisasi di Indonesia.
“ Hilirisasi adalah langkah strategis untuk mengubah Indonesia dari negara ekstraksi menjadi negara industri. Namun, tantangannya adalah memastikan bahwa proses ini menghasilkan keuntungan yang nyata dan tidak terhenti di tahap awal,” imbuh Putra yang juga menjadi narasumber dalam Obrolan Newsroom.
Menurut Putra, Indonesia saat ini masih berada pada awal perjalanan hilirisasi, dengan hanya 1/4 dari langkah yang seharusnya.
Baca juga: Redefinisi Program Hilirisasi Nasional
Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia harus menghadapi tantangan internasional, termasuk gugatan dari Uni Eropa melalui World Trade Organization (WTO).
“Meskipun WTO penting, fokus Indonesia seharusnya adalah melanjutkan hilirisasi dan memastikan bahwa kebijakan yang ada dapat mengimbangi kepentingan global, terutama antara China dan negara-negara Barat,” jelas Putra.
Untuk diketahui, Uni Eropa menggugat Indonesia ke WTO pada 14 Januari 2021 atas kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel dengan kadar kurang dari 1,7 persen. Gugatan ini diajukan karena Uni Eropa menilai kebijakan tersebut melanggar Pasal XI GATT yang menyatakan komitmen untuk tidak menghambat perdagangan.
Putra menekankan perlunya memperbaiki standar lingkungan dan kualitas pekerja untuk meningkatkan daya tawar Indonesia.
Baca juga: Anak Muda Perlu Dilibatkan dalam Diskusi Isu Keberlanjutan
Terkait kendala keberlanjutan hilirisasi, ia menyebutkan pentingnya menciptakan industri yang kompetitif dan memastikan produk akhir yang dihasilkan dapat bersaing di pasar global.
“Meskipun ada peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB) di beberapa daerah keuntungan dari hilirisasi tidak selalu terdistribusi merata di masyarakat. Hal ini menunjukkan perlunya evaluasi yang jujur terhadap dampak hilirisasi,” ucap Putra.
Berkenaan dengan sumber daya manusia (SDM), ia mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki banyak tenaga ahli yang dapat diandalkan.
Akan tetapi, kata Putra, tantangan tetap ada dalam memastikan bahwa SDM tersebut dilatih dengan baik untuk memenuhi kebutuhan industri yang berkembang.
Baca juga: Ujian Doktor, AHY Temukan Kesenjangan Program Studi dengan Kebutuhan Industri di Sejumlah Wilayah
Ia juga menyoroti pentingnya investasi dalam penelitian dan pengembangan teknologi untuk mendukung hilirisasi.
“Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk memastikan hilirisasi dapat memberikan manfaat yang nyata dan berkelanjutan, dengan fokus pada data dan transparansi dalam eksekusi program,” imbuh Putra.