KOMPAS.com - Dinamika perekonomian global saat ini masih terus dihadapkan pada berbagai risiko yang menyangkut ketidakpastian situasi geopolitik dan perubahan iklim.
Situasi tersebut berdampak pada ketahanan pangan dan energi, hingga perlambatan kondisi perekonomian sejumlah negara maju.
Sejumlah negara maju yang saat ini mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi, yakni Jepang dan Inggris, terutama disebabkan tingginya tingkat inflasi dan melemahnya permintaan domestik.
Pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi dalam dua kuartal berturut-turut memberikan sinyal bahwa Jepang dan Inggris akan masuk ke dalam resesi secara teknikal.
Meski demikian, masih terlalu dini untuk menilai bahwa kedua negara tersebut akan memasuki kondisi resesi ekonomi.
Baca juga: Penerapan Good Governance Berbasis Digital Lebih Baik, Indeks SPBE Kemenko Perekonomian Meningkat
National Bureau of Economic Research (NBER) menyebutkan, resesi merupakan penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh ekonomi, berlangsung lebih dari beberapa bulan, dan biasanya terlihat dalam pendapatan domestik bruto (PDB) riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, serta penjualan grosir-eceran.
Mencermati kondisi tersebut, pemerintah terus memonitor dampak transmisi perlambatan ekonomi global terhadap perekonomian nasional, khususnya Jepang.
Sebab, Indonesia memiliki hubungan kerja sama yang baik dengan Jepang, seperti pada aspek investasi dan ekspor-impor.
Jepang menjadi salah satu tujuan utama ekspor bagi Indonesia dengan komoditas utama ekspor batubara, komponen elektronik, nikel, dan otomotif.
Ekspor Indonesia ke Jepang sepanjang tahun 2023 berada pada peringkat ke-4 dengan total mencapai 18,8 miliar dollar Amerika Serikat (AS).
Baca juga: Dukung Kebijakan Berbasis Riset, BRIN Serahkan Naskah Kebijakan ke Kemenko Perekonomian
Sementara itu, Foreign Direct Investment Jepang ke Indonesia pada 2023 berada pada peringkat ke-4 dengan total sebesar 4,63 miliar dollar AS.
Saat ini, perekonomian nasional masih menunjukkan resiliensi dengan capaian pertumbuhan yang solid dengan ditopang permintaan domestik yang terus tumbuh dan dijaga dengan inflasi yang terkendali.
Meski begitu, pemerintah tetap mengambil sejumlah langkah antisipatif terhadap risiko ekonomi global tersebut untuk menjaga perekonomian Indonesia tetap stabil.
Untuk menjaga ketahanan sektor eksternal, yakni neraca dagang, pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Koordinator (Kepmenko) Bidang Perekonomian Nomor 416 Tahun 2023 tentang Tim Pelaksana dan Kelompok Kerja Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Ekspor Nasional.
Kepmenko tersebut merupakan tindak lanjut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 24 Tahun 2023 tentang Satgas Peningkatan Ekspor Nasional.
Baca juga: Dinamika Ekonomi dan Geopolitik Global Turunkan Ekspor, Airlangga Pimpin Satgas Peningkatan Ekspor
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bertindak sebagai Ketua Tim Pengarah dan beranggotakan para menteri terkait serta pelaku usaha.
Satgas tersebut akan berupaya meningkatkan kinerja ekspor nasional guna memperkuat neraca perdagangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi, baik melalui penguatan pasokan ekspor, diversifikasi pasar ekspor, penguatan pembiayaan dan kerja sama internasional, serta pengembangan ekspor usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Selain itu, upaya penjajakan dalam rangka membuka pasar baru untuk pengembangan ekspor juga terus dilakukan pemerintah.
Hingga saat ini, pemerintah telah membentuk enam kelompok kerja (pokja) dalam satgas berdasarkan tugas dan kewenangannya masing-masing.
Keenam pokja tersbut, yakni Pokja 1 Bidang Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing Sumber Daya dan Industri Ekspor, Pokja 2 Bidang Diplomasi, Promosi dan Pengembangan Pasar Ekspor, Pokja 3 Bidang Simplifikasi, Sinkronisasi, dan Integrasi Proses Bisnis dan Layanan Ekspor, Pokja 4 Bidang Pembiayaan Ekspor, Pokja 5 Bidang Peningkatan Ekspor UMKM, serta Pokja 6 Bidang Regulasi.
Baca juga: Menilik Dampak Resesi Jepang ke Kinerja Ekspor Indonesia
Neraca Perdagangan Indonesia pada Januari 2024 masih melanjutkan tren surplus 45 bulan berturut-turut sebesar 2,02 miliar dollar AS.
Tren positif itu didukung kinerja sektor non minyak dan gas (migas) sebesar 3,32 miliar dollar AS, tetapi kinerja sektor migas masih menunjukkan defisit sebesar 1,30 miliar dollar AS.
Hal tersebut menjadi salah satu perhatian pemerintah, khususnya tim Satgas Peningkatan Ekspor Nasional.
Untuk itu, masing-masing pokja saat ini tengah menyusun rencana kerja berupa quick win, rencana jangka pendek, jangka menengah, hingga jangka panjang guna mengatasi hal tersebut.
Selain itu, satgas tersebut telah menentukan 12 negara prioritas tujuan ekspor Indonesia, yakni Arab Saudi, Belanda, Brazil, Chile, China, Filipina, India, Kenya, Korea Selatan, Meksiko, Uni Emirat Arab (UEA), dan Vietnam.
Baca juga: Jepang Resesi, Indonesia Cari Negara Tujuan Ekspor Baru
Adapun produk ekspor prioritas yang ditetapkan mulai dari ikan dan olahan ikan, sarang burung walet, kelapa dan kelapa olahan, kopi dan rempah olahan, bahan nabati dan margarin, kakao, dan makanan olahan.
Ada pula bungkil dan pakan ternak, semen, produk kimia, karet dan produk dari karet, kulit dan produk dari kulit, pulp dan kertas, tekstil dan produk tekstil (TPT) dan alas kaki, logam mulia dan perhiasan, mesin-mesin, elektronik, otomotif, furnitur, serta mainan.
Di samping mengoptimalkan potensi pasar yang telah ditentukan tersebut, Satgas Peningkatan Ekspor juga tengah berfokus memperluas akses pasar dengan mendorong penyelesaian perundingan perjanjian, khususnya Indonesia-EU CEPA.
Satgas juga akan memperkuat peluang Indonesia masuk blok perdagangan The Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP) dan aksesi Indonesia menjadi anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Baca juga: Masih Tertekan, Ekspor Indonesia Januari 2024 Capai 20,52 Miliar Dollar AS