KOMPAS.com – Pulau Bali adalah primadona pariwisata Tanah Air yang begitu populer, tidak hanya di kalangan wisatawan domestik, tetapi juga mancanegara.
Bukan tanpa alasan, Pulau Dewata menjadi destinasi utama pariwisata Indonesia. Ini lantaran alamnya yang indah dengan budaya yang masih kental.
Beberapa tempat populer yang bisa dikunjungi di Bali, antara lain Pantai Kuta, Sanur, Tanah Lot, Nusa Dua, Pura Uluwatu, Pura Besakih, hingga Hutan Monyet Sangeh.
Namun tahukah Anda bahwa ada satu desa wisata di Bali yang masih jarang dieksplorasi oleh para wisatawan?
Nama desa tersebut adalah Desa Wisata Tenganan Pegringsingan. Di desa ini, para wisatawan bisa belajar mengenai budaya asli Bali yang belum banyak diketahui khalayak ramai.
Baca juga: 2 Paket Wisata Bali Masuk Daftar Terbaik Sedunia 2020 Versi TripAdvisor
Desa Wisata Tenganan berjarak sekitar 70 kilometer (km) dari Bandar Udara (Bandara) Internasional Ngurah Rai. Dibutuhkan waktu kurang lebih satu jam 45 menit dengan mobil untuk tiba di desa ini.
Lantas, apa saja yang membuat Desa Wisata Tenganan unik dan patut dikunjungi?
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Senin (15/11/2021), membeberkan tiga hal menarik yang ada di Desa Wisata Tenganan.
Desa Wisata Tenganan merupakan salah satu Desa Bali Aga atau Desa Bali Mula, yaitu desa yang masyarakatnya masih berpedoman pada aturan adat istiadat peninggalan leluhur sampai sekarang.
Meskipun sudah dilengkapi dengan listrik dan teknologi, tetapi keaslian adat istiadat di desa ini tak pernah luntur.
Bahkan, masyarakat Desa Tenganan tetap menjaga bentuk rumah adat mereka seperti aslinya.
Baca juga: Daftar Wilayah Level 1, 2, dan 3 PPKM Jawa-Bali 16-29 November 2021
Berbeda dari masyarakat Bali pada umumnya, masyarakat Desa Tenganan tidak turut merayakan Hari Raya Nyepi, Galungan, dan Kuningan.
Mereka tetap beraktivitas seperti biasa saat hari raya, tetapi aktivitas tersebut hanya dilakukan di lingkungan Desa Tenganan. Mereka membatasi diri untuk tidak pergi ke luar desa.
Hal itu dilakukan demi menghormati umat Hindu yang merayakan hari raya.
Kerajinan ukir daun lontar adalah salah satu warisan budaya leluhur Desa Tenganan yang hingga kini masih bertahan.
Proses membuat kerajinan masih menggunakan metode tradisional yang diwariskan leluhur, yaitu mengukir daun lontar yang sudah diproses menggunakan pisau khusus dan tinta dari kemiri yang sudah dihanguskan.
Kerajinan ukir daun lontar khas Desa Wisata Tenganan banyak dibuat menjadi produk anyaman bambu, ukir-ukiran, dan lukisan di atas daun lontar.
Gambar yang diukir oleh pengrajin biasanya berupa peta Pulau Bali, potret dewa dan dewi, kalender Hindu Bali, atau tokoh pewayangan Mahabharata.
Satu buah kerajinan daun lontar berukuran 30x20 sentimeter (cm) dijual dengan harga mulai dari Rp 250.000.
Adapun harga kerajinan ukuran 60×40 cm bisa mencapai Rp 8.000.000, tergantung desain, kualitas, kerumitan gambar, dan waktu pengerjaan.
Baca juga: Panduan Wisata ke Desa Wisata Ngilngof di Kei Kecil, Maluku Tenggara
Konon, ukuran daun lontar merupakan pengejawantahan tradisi lisan dan budaya yang dipuja lantaran nilai sejarah, filsafat, dan sastranya yang tinggi.
Huruf demi huruf yang terukir pada daun lontar dipercaya merupakan sumber ilmu pengetahuan.
Sekarang, tradisi mengukir lontar menjadi simbol atau ciri khas dari Desa Tenganan, meskipun hanya berfungsi sebagai suvenir saja.
Tidak hanya ukir daun lontar saja, kerajinan lain yang bisa ditemukan di Desa Wisata Tenganan adalah kain tenun gringsing.
Kerajinan yang satu ini juga memiliki nilai sakral. Kata “gringsing” terdiri dari kata “gring” yang artinya sakit, dan “sing” yang artinya tidak.
Konon, kain tenun gringsing berawal dari Dewa Indra yang mengajarkan wanita untuk menenun.
Baca juga: Mengenal Sayur Sambal Godog Khas Betawi yang Jadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2021
Dewa mengagumi keindahan malam seperti keindahan bulan, bintang, dan suasana langit malam. Keindahan ini dipaparkan dalam hasil kain tenun gringsing berwarna gelap.
Kain tenun gringsing digunakan dalam setiap ritual keagamaan yang memiliki kekuatan magis untuk menolak bala dan menangkal pengaruh negatif.
Proses pembuatan kain tenun gringsing khas Desa Wisata Tenganan menggunakan teknik ikat ganda yang rumit.
Dibutuhkan waktu rata-rata dua sampai lima tahun untuk menyelesaikan satu kain tenun.
Selain itu, dalam proses pewarnaannya, kain gringsing tidak bisa menghasilkan warna pekat dan tahan lama jika tidak menggunakan pewarna yang dihasilkan oleh minyak kemiri.
Lantaran prosesnya yang rumit dan butuh waktu lama, harga kain tenun gringsing dibanderol cukup tinggi.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno menyampaikan, pihaknya akan berupaya mengukuhkan kain tenun gringsing sebagai Warisan Budaya Tak Benda atau Intangible Cultural Heritage dalam dalam Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO).
Upaya tersebut dilakukan karena kain tenun gringsing merupakan tenun ikat ganda satu-satunya di Indonesia yang memiliki nilai tinggi.
Baca juga: Jelang Pembukaan Wisata Bali untuk Wisman, Demer: Pelaku Pariwisata Harus Beradaptasi
Itulah tiga daya tarik Desa Wisata Tenganan yang masih kental dengan warisan budaya asli Bali.
Jika tertarik untuk berkunjung, Anda harus selalu menerapkan protokol kesehatan (prokes) 6M sesuai aturan pemerintah demi meminimalkan risiko penularan Covid-19.
Prokes 6M dilakukan dengan selalu memakai masker, mencuci tangan dengan sabun atau membersihkan tangan dengan hand sanitizer, menjaga jarak, menjauhi dan mencegah kerumunan, serta menghindari makan bersama.
Informasi lebih lanjut dapat mengunjungi laman www.indonesia.travel, akun Instagram @pesonaid_travel, atau Facebook Pesonaid_Travel.