KOMPAS.com - Baru-baru ini muncul perdebatan dikalangan warganet perihal wacana pengembangan pariwisata halal di Banyuwangi.
Bagi mereka yang kontra, wacana tersebut dinilai hanya ikut-ikutan konsep yang terdapat pada negara di Timur Tengah. Namun, Guru Besar Ilmu Pariwisata Universitas Udayana Bali, I Gde Pitana, memiliki pemahaman yang berbeda.
Pengembangan pariwisata halal, menurut Pitana, tak jauh berbeda dengan pengembangan wisata kuliner dan sejenisnya, dalam istilah pariwisata biasa disebut extended product.
“Sama seperti program pariwisata lainnya, pariwisata halal berorientasi ke pasar. Hal tersebut jelas tidak bertentangan dengan etika, undang-undang, ataupun agama,” papar Pitana di Jakarta sesuai keterangan tertulis, Selasa (2/7/2019).
Baca juga: Indonesia Bisa Kalahkan Malaysia Jadi Destinasi Wisata Halal Nomor 1 di Dunia, asal...
Pitana memberikan contoh saat rombongan Raja Salman berlibur ke Bali. Meski tidak mencari wisata halal, orang nomor satu di Arab Saudi tersebut tentu membutuhkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan keyakinannya.
"Jika ada wisatawan yang butuh makanan halal, tentu harus disiapkan,” ucap dia.
Sama halnya di Banyuwangi, dengan adanya wacana pengembangan wisata halal tidak membuat kota bahari tersebut menjadi destinasi wisata yang menyediakan seluruhnya produk halal.
"Tetapi Banyuwangi akan memiliki extended product berupa pariwisata halal,” jelas Pitana.
Baca juga: Dapat Restu, Menpar Siap Rencanakan Pengembangan Wisata Halal
Tak lupa, Pitana juga menjelaskan jika program pariwisata halal dan sejenis merupakan wujud permintaan pasar yang tinggi serta menimbang potensi lokasinya.
"Sebagai destinasi tentu tidak boleh memaksakan satu produk saja, tapi harus merangkul semua pasar," tutup Pitana.